Kamis, 31 Maret 2011

*** Puisi indah dari Rendra ***

Seringkali aku berkata, ketika orang memuji milikku bahwa sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipanNya, bahwa rumahku hanya titipanNYa, bahwa hartaku hanya titipanNya, bahwa putraku hanya titipanNya, tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milikNya ini.

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali olehNya? Ketika diminta kembali kusebut itu sebagai musibah, kusebut itu sebagi ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan. Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku. Seolah keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasihku. Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku.

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah … “Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”.

                                                                                            (WS. Rendra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar