Selasa, 12 April 2011

Seorang Musafir dan Oase-nya



Ada seorang musafir kehabisan bekal air minum di tengah perjalanannya. Saat itu dia di tengah gurun yang sedang terik-teriknya. Dia sangat kehausan. Suatu ketika dia menemukan sumber air (oase) di tengah gurun tersebut dan bisa ditebak bukan??? Dia minum sepuasnya. Kemudian datanglah musafir kedua yang dalam keadaan kepayahan karena lapar dan dahaga. Musafir ini lalu meminta izin pada musafir pertama untuk ikut minum. Namun, musafir pertama yang diliputi rasa takut akan kehausan lagi – melarangnya dan mengatakan bahwa oase itu adalah haknya. Musafir kedua pergi dengan merana oleh dahaga. 

Setelah puas minum dan oase mengering, tertutup pasir sedikit demi sedikit, musafir pertama melanjutkan perjalanannya. Ketika dia merasakan kehausan lagi, ia menyadari ada yang terlupa dilakukannya. Dia lupa membawa bekal air dari oase yang pernah ditemuinya. Musafir itu panik, lalu kembali melewati jalan yang sama, dia mencari-cari kembali oase yang telah ditinggalkannya. Tapi sebesar apapun dia berusaha, oase itu telah tak ada. Bisa jadi tertutup pasir yang tertiup angin gurun. Musafir itu, sangat menyesali kedunguan yang dilakukannya. Ia mengira perbuatannya – menolak musafir kedua yang datang meminta izin untuk ikut minum – adalah baik bagi hidupnya. Dia berjalan sempoyongan tak tahu lagi arah. Dari kejauhan dilihatnya ada yang berkilau. Hatinya girang. “Ah, oase lagi…” Tapi apa yang dilihatnya itu telah menipunya. Bukan oase yang ditemukannya. Hanya fatamorgana. Alam menipunya.

Kamudian dilihatnya ada yang terbujur tidak jauh dari dirinya. Sosok tubuh. Musafir seperti diriku mungkin. Oh Tuhan, dia musafir yang meminta azin untuk minum bersamaku waktu itu. Andai saja …

Apa yang akan kita ucapkan jika kita adalah musafir malang tersebut? Barangkali: Andai saja waktu itu aku berbaik hati membagi air minum untuknya. Dia belum mati saat ini dan bisa kumintai tolong atau Andai saja waktu itu dia ikut minum bersamaku, dia belum mati dan kami bisa menjadi sahabat melalui gurun ini atau Andai saja waktu itu kuizinkan dia minum bersamaku dan tidak lupa mengambil bekal air, mungkin saat ini dia masih mempunyai persediaan air minum dan aku bisa meminta darinya. Dan Andai … Andai … banyak sekali Andai ….

Kita semua adalah musafir. Kadang kita kehausan, lalu menemukan oase. Minum dan dahaga hilang. Kambali kehausan. Begitulah. Alangkah baiknya bila kita bisa berbagi saat kita dalam keadaan tidak kekurangan, barangkali suatu saat akan ada orang lain yang sudi meringankan kesusahan kita. Patutkah kesombongan menguasai hati, bahwa saat berada dalam kebahagiaan kita tidak akan pernah menderita kenestapaan. Bahwa saat berada di puncak kejayaan kita tidak akan pernah jatuh ke dalam jurang kehancuran. Bahwa saat kita merasa memiliki sumber air yang melimpah, kita tidak akan pernah merasakan sangat kehausan??? Tapi, inilah diri kita bukan. Melupakan hal-hal penting yang seharusnya tak perlu kita ingat pun akan selalu teringat.

Ah, jadi ingat akan sejati. Sejati yang entah sudah, pernah atau belum kutemukan. Sejati yang sedang kutuju. Dan entah kenapa aku juga begitu yakin bahwa sejati menjadi tujuan hidup setiap manusia. Hanya, barangkali ada yang tengah terlupa setelah separuh jalan, dan “mencoba mencari tujuan” yang lain, yang sejatinya bukan tujuannya. Dunia memang begitu aneh. Semakin aneh – sebab kesombongannya. Ataukah sombong hanya patut untuk hati manusia. Yang jelas, dunia pastilah bukan sejati, tapi lalu dimana sejati? Dapatkah semua dari kita mencapainya??? (By akar_atya. dalam Novel Malaika Humaira, Jogjakarta 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar