Selasa, 12 April 2011

Abraham Mencari Tuhan




Abraham adalah salah satu dari 25 nabi dan rasul Allah yang wajib kita ketahui. Abraham (Nabi Ibrahim As.) disebut juga sebagai bapak para nabi, sebab beliau menurunkan dua orang nabi dan rasul yang menjadi cikal bakal nabi-nabi dan rasul di dunia. Kedua putra Abraham yaitu Ismail (Ishmael) dan Ishak (Isaac). Ismail (putra sulung Abraham) menurunkan Nabi agung Muhammad SAW. Sedangkan Isaac menurunkan nabi-nabi bangsa Israel seperti Nabi Yakub (Jacob), Yusuf (Joseph), Harun, Musa (Moses), Daud (David), Sulaiman (Solomon) dan sebagainya hingga sampai pada Isa (Yesus).

Abraham sendiri terlahir pada suatu kaum yang semuanya menyembah berhala. Waktu itu berhala terbesar yang disembah oleh kaumnya bernama Baal, disamping berhala-berhala kecil lainnya. Bahkan ayah kandung Abraham sendiri adalah seorang pembuat patung berhala.


Usia tujuh tahun
Meskipun lahir di tengah kekufuran, namun Abraham telah dikaruniai kecerdasan yang luar biasa. Semenjak belia, dia sudah berpikir bahwa tidak mungkin patung-patung yang disembah ayah dan kaumnya adalah Tuhan. Oleh karenanya, Abraham berusaha memulai proses pencarian akan tuhannya sendiri. Pencarian Abraham akan tuhan dimulai pada waktu usianya baru tujuh tahun. Dia memulainya dengan bertanya pada sang ayah yang sedang membuat patung, “Ayah, siapakah yang menciptakan manusia?”

Ayahnya yang dungu menjawab, “yang menciptakan manusia adalah ayah dan ibunya. Aku yang telah membuatmu, dan ayahku yang telah membuatku, ayahnya ayahku yang telah membuat ayahku, begitu seterusnya.”

Abraham mengejar bertanya, “bukan seperti itu maksudku, Ayah. Sebab pada suatu hari aku pernah menyaksikan seorang kakek meratap-ratap sambil berseru: ‘Oh Tuhanku, mengapakah Engkau tak memberikan seorang puterapun kepadaku….”

Ayahnya menjawab, “itu benar Nak. Tuhan memang membantu manusia untuk membuat manusia, akan tetapi Dia tidak melibatkan diriNya dalam proses pembuatan manusia. Yang perlu dilakukan adalah seorang manusia yang memohon kepada Tuhan agar diberikan anak domba atau domba, lalu Tuhan akan menolongnya.”

“Kalau demikian ada berapa banyak Tuhan, Ayah?” Tanya Abraham.

“Tuhan itu tak terhitung jumlahnya, anakkku.” Jawab ayahnya.

“O ayah. Bagaimana kalau aku ingin mengabdi kepada satu tuhan, sedangkan tuhan yang lainnya akan membenciku karena aku tidak mengabdi kepadanya? Akan terjadi pertentangan-pertentangan antar-tuhan sehingga mungkin sekali di antara mereka akan saling berperang. Bisa juga terjadi, satu tuhan yang membenciku tersebut akan membunuh tuhanku, dan juga akan membunuhku. Bagaimana kalau itu terjadi?” Tanya Abraham lagi.

Ayahnya tertawa keras sekali mendengar pertanyaan anaknya. Lalu dia berkata, “tidak demikian anakku. Di antara tuhan-tuhan itu tidak akan saling bertentangan. Di dalam rumah ibadah, ada banyak sekali tuhan, yang terbesar adalah tuhan Baal dan sepanjang usiaku yang melewati tujuh puluh tahun ini, belum pernah satu kalipun aku melihat tuhan-tuhan saling bertengkar, apalagi berperang. Tentu saja, tidak seluruh manusia mengabdi kepada satu tuhan saja. Akan tetapi, satu manusia (mengabdi kepada) satu tuhan, sedangkan manusia lainnya mengabdi kepada tuhan yang lainnya. “

“Jadi ada perdamaian antara tuhan satu dengan tuhan lainnya?” Tanya Abraham lagi.

“Mereka berdamai satu sama lain.” Jawab ayahnya.

“Wahai ayah, seperti apa sih tuhan-tuhan itu?”

“Bodoh kau ini. Setiap hari aku membuat satu tuhan kemudian aku jual kepada orang-orang dan hasilnya untuk membeli rotimu, dan engkau masih bertanya seperti apa tuhan itu!” Jawab ayahnya yang sedang mengerjakan pembuatan sebuah patung. “Ini!” tunjuknya pada patung yang sedang dibuat. “Ini adalah tuhan (yang terbuat dari) kayu Palma. Yang itu dari kayu Zaitun, dan itu, itu yang kecil, itu adalah tuhan kayu Ivory. Lihatlah betapa bagus patung-patung itu, tampak sangat hidup. Hanya saja mereka tidak bernafas!”

“Jadi mereka tidak bernafas? Lalu dengan apa mereka bisa member nafas? Mereka juga tidak hidup. Lalu bagaimana mereka bisa memberikan kehidupan? Jadi ayah, bisa dipastikan bahwa mereka itu bukan Tuhan! (T capital).” Kata Abraham.

Orang tua itu gusar sekali mendengar penentangan dari anaknya yang masih kecil tersebut. “Jika saja sekarang kamu sudah dewasa, tentu aku remukkan kepalamu dengan kapak ini. Tapi tenanglah Nak, kau belum mengerti!”

Abraham terus mengejar, “ayah, kalau tuhan-tuhan itu yang menolong perbuatan manusia bagaimana mungkin manusia yang membuat mereka? Dan kalau tuhan terbuat dari kayu-kayu, bukankah dosa besar jika kita membakar kayu? Tolong jelaskan kepadaku ayah, selama ini ayah telah membuat begitu banyak tuhan, bagaimana mereka tidak membantu ayah membuat banyak anak, yang bisa ayah jadikan sebagai manusia-manusia paling kuat di bumi ini?”

Ayahnya beringsut duduk di samping Abraham sambil mendengarkan anaknya berkata-kata. Abraham kemudian bertanya lagi, “ayah, benarkan bumi ini untuk beberapa waktu lamanya tidak dihuni oleh manusia?”

Jawab ayahnya, “benar Nak. Dan mengapa?”

“Sebab…” jawab Abraham, “aku ingin tahu siapakah yang membuat Tuhan yang Pertama.”

“Sekarang, enyahlah engkau dari rumahku!” Bentak ayahnya dengan keras. “Dan biarkan aku melanjutkan membuat tuhan ini dengan cepat. Jangan berucap satu patah katapun lagi, karena jika kau lapar, kau membutuhkan roti dan bukan kata-kata!”

“Ayah, tuhan yang baik adalah ketika ayah memotong-motongnya sesuka hati ayah dan tuhan itu tidak bisa membela dirinya sendiri!” Ucap Abraham.

Kemarahan ayahnya benar-benar mendidih. “Semua orang di dunia ini mengatakan bahwa ini adalah tuhan, namun kamu anak gila mengatakan bahwa ini bukan tuhan. Demi tuhan (tuhan)ku seandainya saat ini kau adalah seorang laki-laki dewasa tentulah aku sudah membunuhmu!” Setelah itu sang ayah yang kalap melayangkan pukulan dan tinju bertubi-tubi kea rah Abraham, kemudian mengusirnya dari rumah.


Usia dua belas tahun
Ketika usia Abraham dua belas tahun, ayahnya berkata kepadanya, “besok adalah hari raya festival tuhan-tuhan. Kita harus pergi ke rumah ibadah pusat dan memberikan hadiah kepada tuhan Baal yang agung. Engkau harus memilih tuhanmu sendiri karena engkau sudah cukup umur untuk mempunyai tuhan.”

Abraham pura-pura patuh pada ayahnya dengan menjawab, “baik ayah. Aku akan menuruti nasihat ayah.”

Ketika keesokan harinya, Abraham dan ayahnya pergi pagi-pagi sekali ke rumah ibadah pusat, sebelum orang-orang lainnya berdatangan. Namun, Abraham dengan beraninya menyembunyikan sebuah kapak di balik baju tunic-nya. Sesampainya di rumah ibadah, Abraham segera menyelinap bersembunyi di belakang patung di pojok ruangan yang paling gelap. Orang-orang berdatangan dan rumah ibadah menjadi semakin ramai. Hingga acara pemujaan tuhan-tuhan selesai, Abraham memisahkan diri dengan ayahnya. Ayahnya tidak berusaha mencari puteranya sebab mengira Abraham telah pulang terlebih dahulu.

Setelah semua orang selesai dan pulang ke rumah masing-masing, para pendeta menutup rumah ibadah tanpa tahu bahwa Abraham masih berada di dalam. Kemudian Abraham keluar dari tempat persembunyiannya dan dengan kapak terhunus dia memotong-motong (semua) patung-patung kecil yang ada di rumah ibadah tersebut. Kemudian Abraham meletakkan kapak yang digunakannya tadi di bawah kaki patung Baal. Setelah itu, Abraham pergi meninggalkan rumah ibadah tersebut dalam keadaan hancur berantakan. Akan tetapi, kepergian Abraham dari rumah ibadah tersebut diketahui oleh beberapa orang yang menuduh Abraham mencuri dari rumah ibadah. Beramai-ramai mereka menangkap Abraham. Namun demi melihat tuhan-tuhan mereka telah hancur berserakan, mereka meratap-ratap dan berseru memanggil penduduk, “Wahai khalayak ramai, datanglah cepat kemari. Marilah kita bunuh dia yang telah menjagal tuhan-tuhan kita!”

Dengan cepat, berdatanganlah sekitar sepuluh ribu orang beserta para pendeta ke rumah ibadah tersebut. Mereka segera menghujani Abraham dengan berbagai pertanyaan tentang alasan penghancuran tuhan-tuhan.

Abraham berkata, “kalian ini manusia tolol. Mana mungkin manusia membunuh tuhan-tuhan? Tuhan yang agung itulah yang telah membunuh tuhan-tuhan yang lain karena dia tidak menyukai keberadaan mereka! Tidakkah kalian melihat bahwa kapak itu terletak di kakinya. Itu bukti bahwa tuhan Baal lah yang telah membunuh tuhan-tuhan lainnya.”

Mereka menjawab, “bagaimana mungkin patung yang tidak bisa bergerak bisa menghancurkan patung lainnya?”

“Kalau patung Baal yang agung tidak bisa melakukannya berarti dia bukanlah tuhan. Mana ada tuhan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk melakukan sesuatu yang dikehendakinya? Lalu mengapa masih kalian sembah juga?”

“Diam kau bocah. Kau belum tahu apa-apa tentang masalah ini! Atau tuhan kita akan murka kepadamu.”

“Sesungguhnya aku tidak takut terhadap tuhan yang tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan menjaga dirinya sendiri saja tidak bisa. Dia tidak akan mendatangkan keburukan apa-apa terhadapku.” Tantang Abraham. Penduduk semakin marah dan menuntut agar Abraham di hukum mati atas penghinaan yang dilakukan terhadap tuhan-tuhan mereka.
(Dalam Gospel Barnabas tidak diceritakan rinci mengenai perdebatan tentang hal ini, namun penulis melengkapinya sendiri)

Pada saat itulah, ayah Abraham datang dengan membawa ingatan segar mengenai pemikiran Abraham selama ini. Dia juga mengenali kapak yang digunakan untuk menghancurkan para tuhan. Dengan meratap dia berkata, “Duhai anakku yang durhaka telah menjagal tuhan-tuhan kita! Kapak yang digunakan itu adalah kapak milikku!” Lalu dia juga menceritakan semua pembicaraan antara dirinya dengan Abraham selama ini kepada para penduduk.

Berdasarkan hal tersebut, penduduk segera mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun raksasa. Setelah api berkobar, mereka segera melemparkan Abraham ke dalam api.

Api menyala dengan dahsyat, bahkan sampai membakar dua ribu orang yang ikut membakar Abraham. Akan tetapi, Tuhan Yang Esa telah mengirimkan malaikatNya untuk menyelamatkan Abraham. Abraham selamat dan dibawa ke rumah ayahnya oleh malaikat, sedangkan Abraham sendiri tidak melihat siapa yang menyelamatkannya. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah berfirman pada sang api, “Qulna yaa naaru kuu nii barda wa salaaman ‘alaa Ibrahim (Wahai api, dinginlah, dan selamatkan Ibrahim) (Al-Qur’an Al-Anbiya: ayat 69)
Setelah berada di dekat rumah ayahnya, Abraham merasa takut untuk masuk ke dalam rumah. Dia kemudian memilih duduk di bawah pohon Palma sambil berpikir. Kemudian, begitu saja terlontar dari pikirannya dan dia berucap, “pastilah terdapat Tuhan yang memiliki kehidupan dan kekuatan yang melebihi manusia, karena dialah yang menciptakan manusia. Dan manusia tanpa keterlibatan Tuhan, tidak mungkin bisa menciptakan manusia.”

Abraham mengalihkan pandangannya ke angkasa dan dia melihat matahari yang bersinar terang. Abraham berkata, “inilah dia tuhan itu. Dia yang member sinar dan kehidupan pada seluruh makhluk yang ada di dunia ini.” Lalu Abraham menyembah matahari tersebut. Akan tetapi, ketika senja datang dan sang matahari yang semula dia sembah tenggelam di ufuk barat, Abraham menjadi kecewa. “Ternyata matahari bukanlah tuhan. Tidak mungkin tuhan tenggelam dan hilang begitu saja.”

Malampun tiba, dan Abraham menyaksikan sang rembulan yang sedang purnama bersinar begitu anggun memberi cahaya pada dunia. Abraham berpikir bahwa rembulan itulah tuhannya. Abraham menghormat ke arah sang rembulan. Namun, alangkah masygul hati Abraham saat datang awan berarak-arak dan kemudian menutupi sang rembulan hingga cahayanya menjadi pudar. Abraham berkata, “mana mungkin rembulan itu tuhan. Mestinya awan-awan tidak bisa menyembunyikanNya. Berarti, Tuhanku bukanlah rembulan. Lalu siapa?”

Sambil terus berpikir, Abraham melihat sebuah bintang paling besar yang bersinar paling terang di angkasa malam. Abraham melonjak girang, “ah, inilah dia tuhan itu.” Akan tetapi, kegirangan Abraham tidak berlangsung lama, sebab dilihatnya bintang itu bergerak menjauh dan kemudian tak tampak lagi dari pandangan matanya. Kembali Abraham bersedih hati. “Tidak mungkin rasanya Tuhan bergerak dan kemudian hilang begitu saja. Jika Tuhan seperti itu, tentulah manusia dan seluruh isi alam akan dibawa pada ketiadaan pula.”

Abraham terus diliputi kegelisahan. Dalam keadaan seperti itulah, tiba-tiba terdengar namanya dipanggil, “Abraham!” Abraham segera menoleh ke sekelilingnya, namun tak ada seorangpun yang dia jumpai. “Rasanya aku mendengar ada yang memanggil namaku, Abraham!” Peristiwa itu berulang sampai tiga kali, Abraham mendengar namanya dipanggil.

“Siapa yang memanggil namaku?” sahut Abraham.

“Aku adalah malaikat Tuhan, Gabriel (Jibril).” Jawab suara itu.
Abraham merasa sangat ketakutan saat itu. Namun, Gabriel berusaha menenangkannya dengan berkata, “Abraham, jangan takut. Karena engkau adalah kekasih Tuhan (Allah memberikan gelar khalily=kekasihKu kepada Abraham). Ketika engkau menghancurkan patung-patung di rumah ibadah itu, Tuhan para malaikat, nabi dan semesta raya telah memilihmu sebagai utusannya. Namamu telah tertulis di Kitab Kehidupan (Lauh Mahfudz).

Abraham menyahut, “Apa yang harus aku lakukan untuk melayani Tuhan alam semesta?”

Gabriel menjawab, “pergilah ke pancuran air dan sucikanlah dirimu karena Tuhan akan berbicara denganmu.”

Abraham bertanya, “bagaimana caranya aku menyucikan diriku?”
Lalu Gabriel menjelmakan dirinya menjadi seorang pemuda tampan dan memberikan contoh cara menyucikan diri kepada Abraham. Abraham menirukan apa yang dicontohkan oleh Gabriel.

Selesai menyucikan diri, Gabriel berkata, “sekarang mendakilah ke arah  gunung itu karena Tuhan akan berbicara denganmu di sana.” Abraham mengikuti instruksi dari Gabriel dan mendaki gunung tersebut. Di atas gunung, Abraham duduk di atas kedua lututnya, “kapankah Tuhan akan berbicara kepadaku?” Begitu Abraham selesai bergumam, dia mendengar ada suara memanggil namanya, “Abraham!”

“Siapa yang memanggil namaku?” Tanya Abraham.

“Aku Tuhanmu.”

Abraham menjadi ketakutan sekali dan membenamkan wajahnya di permukaan tanah sambil berkata, “betapa aku adalah hamba dan pelayanMu, yang berupa debu dan abu ini!”

Tuhan berfirman kepadanya, “Jangan takut, tetapi bangunlah,karena Aku telah memilihmu sebagai pelayanKu. Dan Aku akan memberkatimu dan membuat (anak cucu)mu bertambah banyak dan menjadi umat yang besar. Oleh karena itu, menyingkirlah dari rumah ayahmu dan rumah kerabatmu dan menetaplah di sebuah wilayah yang akan Aku berikan kepadamu dan kepada anak cucumu.

Abraham menjawab. ”Semua (perintahMu) akan aku turuti, Tuhan. Akan tetapi, bimbinglah aku agar tidak ada tuhan lain yang mencelakakanku.”

Tuhan berfirman, “Aku-lah satu-satunya Tuhan dan tidak ada tuhan lain selain Aku. Aku menghancurkan dan menciptakan segala sesuatu, Aku yang mematikan dan memberi kehidupan, Aku yang menjerumuskan ke neraka dan mengeluarkan dari neraka, dan tak ada satu-pun yang mampu menghindar dari jangkauan-Ku.

Setelah menerima firman Tuhan dan menjadi seorang utusan Tuhan (rasul), Abraham menerima perintah untuk berkhitan. Dengan demikian, mulai saat itu, Abraham telah menemukan Tuhannya dan Tuhan semesta raya (akar_atya).

(Diadaptasi oleh akar_atya dari Terjemah The Gospel of Barnabas)

Sumber pustaka:
1.       Al-Qur’anul Karim
2.       The Gospel Of Barnabas (Terjm. Achmad Kahfi). Surabaya: Bina Ilmu.




[1] Nabi Ibrahim As.

Seorang Musafir dan Oase-nya



Ada seorang musafir kehabisan bekal air minum di tengah perjalanannya. Saat itu dia di tengah gurun yang sedang terik-teriknya. Dia sangat kehausan. Suatu ketika dia menemukan sumber air (oase) di tengah gurun tersebut dan bisa ditebak bukan??? Dia minum sepuasnya. Kemudian datanglah musafir kedua yang dalam keadaan kepayahan karena lapar dan dahaga. Musafir ini lalu meminta izin pada musafir pertama untuk ikut minum. Namun, musafir pertama yang diliputi rasa takut akan kehausan lagi – melarangnya dan mengatakan bahwa oase itu adalah haknya. Musafir kedua pergi dengan merana oleh dahaga. 

Setelah puas minum dan oase mengering, tertutup pasir sedikit demi sedikit, musafir pertama melanjutkan perjalanannya. Ketika dia merasakan kehausan lagi, ia menyadari ada yang terlupa dilakukannya. Dia lupa membawa bekal air dari oase yang pernah ditemuinya. Musafir itu panik, lalu kembali melewati jalan yang sama, dia mencari-cari kembali oase yang telah ditinggalkannya. Tapi sebesar apapun dia berusaha, oase itu telah tak ada. Bisa jadi tertutup pasir yang tertiup angin gurun. Musafir itu, sangat menyesali kedunguan yang dilakukannya. Ia mengira perbuatannya – menolak musafir kedua yang datang meminta izin untuk ikut minum – adalah baik bagi hidupnya. Dia berjalan sempoyongan tak tahu lagi arah. Dari kejauhan dilihatnya ada yang berkilau. Hatinya girang. “Ah, oase lagi…” Tapi apa yang dilihatnya itu telah menipunya. Bukan oase yang ditemukannya. Hanya fatamorgana. Alam menipunya.

Kamudian dilihatnya ada yang terbujur tidak jauh dari dirinya. Sosok tubuh. Musafir seperti diriku mungkin. Oh Tuhan, dia musafir yang meminta azin untuk minum bersamaku waktu itu. Andai saja …

Apa yang akan kita ucapkan jika kita adalah musafir malang tersebut? Barangkali: Andai saja waktu itu aku berbaik hati membagi air minum untuknya. Dia belum mati saat ini dan bisa kumintai tolong atau Andai saja waktu itu dia ikut minum bersamaku, dia belum mati dan kami bisa menjadi sahabat melalui gurun ini atau Andai saja waktu itu kuizinkan dia minum bersamaku dan tidak lupa mengambil bekal air, mungkin saat ini dia masih mempunyai persediaan air minum dan aku bisa meminta darinya. Dan Andai … Andai … banyak sekali Andai ….

Kita semua adalah musafir. Kadang kita kehausan, lalu menemukan oase. Minum dan dahaga hilang. Kambali kehausan. Begitulah. Alangkah baiknya bila kita bisa berbagi saat kita dalam keadaan tidak kekurangan, barangkali suatu saat akan ada orang lain yang sudi meringankan kesusahan kita. Patutkah kesombongan menguasai hati, bahwa saat berada dalam kebahagiaan kita tidak akan pernah menderita kenestapaan. Bahwa saat berada di puncak kejayaan kita tidak akan pernah jatuh ke dalam jurang kehancuran. Bahwa saat kita merasa memiliki sumber air yang melimpah, kita tidak akan pernah merasakan sangat kehausan??? Tapi, inilah diri kita bukan. Melupakan hal-hal penting yang seharusnya tak perlu kita ingat pun akan selalu teringat.

Ah, jadi ingat akan sejati. Sejati yang entah sudah, pernah atau belum kutemukan. Sejati yang sedang kutuju. Dan entah kenapa aku juga begitu yakin bahwa sejati menjadi tujuan hidup setiap manusia. Hanya, barangkali ada yang tengah terlupa setelah separuh jalan, dan “mencoba mencari tujuan” yang lain, yang sejatinya bukan tujuannya. Dunia memang begitu aneh. Semakin aneh – sebab kesombongannya. Ataukah sombong hanya patut untuk hati manusia. Yang jelas, dunia pastilah bukan sejati, tapi lalu dimana sejati? Dapatkah semua dari kita mencapainya??? (By akar_atya. dalam Novel Malaika Humaira, Jogjakarta 2008)