Rabu, 11 Januari 2012

Pemberdayaan Masyarakat

Tulisan ini juga dapat dilihat di surat kabar Suara Mandiri - PNPM Mandiri perkotaan KMW Jawa Tengah

PNPM HARUS MENJADI JEMBATAN UNTUK MENUMBUHKAN JIWA KEWIRAUSAHAAN DAN KEPEDULIAN
(oleh Zahrotul Atiyah)

AHAD pagi, 6 Pebruari 2011, wilayah Pati Kota diguyur hujan tak kunjung henti. Sampai menjelang siang hari, hujan belum juga mereda. Hal ini membuat beberapa panitia pemilihan ulang BKM “Ngesti Rahayu” Kelurahan Pati Kidul menjadi cemas. Pasalnya, pada hari ini akan diadakan rembug warga untuk melakukan pemilihan anggota pimpinan kolektif BKM di tingkat kelurahan.
Rembug warga ini merupakan hasil tindak lanjut rembug kesiapan masyarakat pada tanggal 9 Desember 2010 dan pelaksanaan pemilihan utusan tingkat RT yang dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2010. Pada penjaringan utusan tingkat RT terpilih masing-masing 3 orang tiap RT dari 41 RT. Jumlah ini melebihi target 2% yang dipersyaratkan oleh PNPM untuk mengantisipasi calon utusan yang tidak bisa menghadiri rembug pemilihan tingkat desa.
Akan tetapi, kecemasan para panitia pemilihan BKM tersebut akhirnya hilang. Pada jam 09.00 WIB, para utusan dari masing-masing RT dan tamu undangan mulai berdatangan dan tak lama kemudian mereka telah memenuhi aula kelurahan. Tim fasilitator kelurahan juga hadir beserta jajaran askotnya. Bahkan hadir pula dalam rembug warga itu Camat Pati (Bp. Rasiman), Koordinator forum BKM Kecamatan Pati (Bp. Suprapto), ibu Kartina Sukawati (wakil Bupati Pati) yang didampingi suami.
Kahadiran para tokoh penting tersebut menjadikan suasana rembug menjadi lebih hidup. Terlebih lagi, Bu Ina – panggilan akrab wakil bupati – yang juga merupakan warga Pati Kidul, cukup akrab dengan warga yang hadir. Dalam sambutannya, Bu Ina berjanji akan membantu dengan segenap hati segala kegiatan penanggulangan kemiskinan di Pati – terutama Pati Kidul yang merupakan tempat lahir beliau.
Yang paling membakar semangat adalah sambutan camat Pati – Bapak Rasiman. Dalam sambutannya, terlihat sekali kalau camat Pati sangat memahami substansi PNPM Mandiri Perkotaan. Menurut beliau, meskipun banyak program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah, namun PNPM Mandiri merupakan program unggulan. Program ini membutuhkan kepedulian seluruh pihak baik yang terlibat secara langsung maupun yang tidak terlihat langsung. Bapak Rasiman berharap bahwa dana bantuan yang diberikan melalui BKM “Ngesti Rahayu” dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan taraf hidup warga Pati Kidul. Warga masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi jangan dimanjakan, namun harus ditumbuhkan jiwa kewirausahaan, agar perekonomian maju dan berkembang. Bapak camat juga berpesan agar jangan sampai dana perguliran digunakan untuk konsumtif, namun untuk membangun usaha. Kalau perlu dana pinjaman ke setiap KSM yang besar. Harapannya untuk membangun usaha yang sungguh-sungguh. Itu akan lebih baik daripada meminjam dalam jumlah kecil namun untuk usaha yang setengah-setengah, apalagi untuk konsumtif semata.
Mengenai dana social, kalau diperbolehkan oleh program, sebaiknya untuk rehab rumah warga miskin dari kalangan jompo yang tidak mempunyai keluarga dan sudah tidak mempunyai pekerjaan lagi.
Agenda pemilihan anggota BKM dilaksanakan setelah pembacaan Anggaran Dasar BKM yang disepakati oleh warga tanpa ada perubahan dari anggaran dasar pada saat pembentukan di tahun 2007. Setelah itu, utusan warga yang hadir melakukan pemilihan ulang di bilik-bilik suara yang sangat sederhana. Bilik suara tersebut dibuat dari kardus bekas bungkus makanan instan dan ditata berjejer di atas meja. Utusan yang memberikan hak pilihnya sebanyak 53 orang laki-laki dan 24 orang perempuan. Penggunaan kardus bekas makanan instan justru menambah semarak kegiatan pemilihan. Warga saling melontarkan guyonan sehingga suasana menjadi lebih cair. Wakil bupati, camat dan undangan lain yang hadir tak mau ketinggalan dengan ikut melontarkan gurauan. Suasana  kekeluargaanpun terbangun di antara warga dan tamu undangan yang hadir.
Setelah semua utusan warga yang hadir memberikan hak suaranya, kemudian dilanjutkan dengan penghitungan suara yang dilakukan di kertas karton yang ditempel di depan (akar_atya).

Perjalanan

MEMOAR-KU
By Zahrotul Atiyah

September 2005, saya lulus dari Biologi Universitas Negeri Yogyakarta. Saat itu perasaan saya campur aduk. Bahagia bisa merampungkan kuliah dengan tepat waktu dan mendapat nilai yang memuaskan. Sedih karena akan berpisah dengan teman-teman seperjuangan yang masih terus berjuang untuk lulus. Sekaligus cemas karena saat itu beberapa teman mengucapkan ‘welcome to the real world’. Saya tahu, setelah tidak lagi menyandang sebutan sebagai mahasiswa. Saya telah mendapat gelar sarjana, kehidupan saya akan berubah. Saya harus benar-benar mampu berdiri di atas kedua kaki saya dan memenuhi kebutuhan saya sendiri. Mau atau tidak, siap atau tidak, saya harus berpikir untuk bekerja. Tak lagi menggantungkan kedua orang tua untuk membiayai hidup saya.
Jujur, begitu lulus kuliah saya sama sekali tidak memiliki bayangan akan bekerja apa atau di bagian apa. Satu-satunya hal yang saya pikirkan – bahkan jauh sebelum lulus kuliah, adalah bahwa seumur hidup saya harus menorehkan minimal satu buah karya. Pada suatu malam saat saya dan kedua teman saya melakukan pengamatan di Laboratorium Histologi (Biologi) saya mengatakan bahwa saya akan menulis minimal satu buah buku dalam hidup saya. Waktu itu, saya dan kedua sahabat (Atik dan Mira) saling berbagi dan bermimpi apa yang akan dilakukan jika telah lulus kuliah kelak dan apa yang ingin digapai semasa diberi kesempatan oleh Allah untuk hidup di buminya. Masa seumur hidup hanya menghasilkan skripsi sebagai hasil karya? Jadi, saya menjadikan ‘menulis minimal sebuah buku’ sebagai impian terbesar saya yang akan saya perjuangkan.
Hampir setengah tahun setelah lulus kuliah, saya masih bertahan di Jogja dan mencari pekerjaan. Meskipun istilah ini sejujurnya membuat saya malu. Mengapa saya harus mencari-cari pekerjaan? Mengapa saya tidak berani membuka usaha sendiri? Tapi, saya belum memiliki keberanian untuk itu. Setiap memikirkan hal ini, saya merasa sangat malu. Selama masa penantian ini, saya masih mendapat pasokan biaya hidup dari orang tua. Saya semakin merasa rendah diri. Satu-satunya hiburan saya adalah dengan menulis dan mencorat-coret kertas-kertas bekas draft skripsi yang direvisi selama penulisan skripsi. Terlebih lagi, teman satu kost saya waktu itu senang sekali menyindir saya. Dia bilang, buat apa lulus cepat dengan nilai bagus namun tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Saya seringkali merasa tertohok dengan kata-katanya. Namun, saya tidak pernah membantah kalau dia mengatakan demikian. Mungkin sebenarnya dia hanya ingin menyemangati saya. Untuk kelancaran melamar pekerjaan, saya meminjam nomor hape Mira. Jika mendapat panggilan wawancara, yang dihubungi adalah Mira dan kemudian dia datang ke kost saya sekaligus akan dengan setia mengantarkan saya kemana pun. Saya kadang merasa kasihan kalau dia harus repot-repot seperti itu. Tapi, itu saya simpan di dalam hati karena dia akan marah kalau saya bersikap demikian kepadanya. Akhirnya, saya memutuskan membeli sebuah handphone second dan itu menjadi hape yang pertama saya miliki di dunia ini.
Setelah setengah tahun, tak kunjung berjodoh dengan pekerjaan di Jogja, kedua orang tua menyarankan agar saya pulang ke Pekalongan dan menyarankan untuk ke Jakarta. Ada seorang bos batik yang berjanji akan membantu saya mencari pekerjaan di Jakarta. Akhirnya, pada Mei 2006 saya pulang ke Pekalongan dan sebulan kemudian, saya bertolak ke Jakarta di daerah Menteng. Waktu itu, saya hanya mempunyai uang sebesar Rp. 50.000,- dan Semeh (Ibu) memberi uang saku Rp. 75.000,-. Saya hendak menolak karena merasa malu, namun kata beliau itu untuk biaya makan saya sebelum mendapat gaji pertama. Akhirnya saya menerimanya.
Saya memulai hari pertama saya dengan bekerja di toko grosir batik di ITC Cempaka Emas. Tak ada perjanjian khusus mengenai tugas saya di toko. Hanya saja oleh pak Bos, saya disuruh mengurusi pembukuan dan input data keuangan di komputer. Karena ada masalah teknis dengan komputernya, saya akhirnya diminta membantu sebagai penjaga toko. Saya dan teman-teman berangkat jam 07.00 WIB dan pulang 17.00 WIB atau kadang juga sehabis Maghrib, toko baru tutup.
Beberapa pembeli mengaku kaget saat mengetahui saya adalah seorang sarjana. Mereka merasa heran mengapa saya mau menerima pekerjaan hanya sebagai penjaga toko. Saya hanya tersenyum dan menjelaskan bahwa saya akan berusaha mencari pekerjaan lain yang sekiranya bisa menjadi ladang saya mengamalkan ilmu dari bangku kuliah. Yang terpenting saat ini, saya benar-benar bisa mempunyai penghasilan sendiri sehingga tidak harus dibiayai oleh kedua orang tua saya. Akhirnya mereka mengerti dan berjanji akan memberikan informasi lowongan kerja yang sekiranya cocok untuk saya. Saya bersyukur bahwa mereka bersikap baik.
Sejujurnya saya agak stress juga selama bekerja sebagai penjaga toko. Saya sering bingung bagaimana cara menjual yang baik. Terlebih lagi, beberapa teman kerja juga kadang meremehkan saya. Mereka mengatakan bahwa tak ada beda antara lulusan SD, SMP, ataupun sarjana. Kalau, ditakdirkan menjadi ‘babu’ tak lagi memandang apakah dia sekolah tinggi atau tidak sekolah sama sekali. Saya kaget dengan pendapat semacam itu. Tapi, saya juga tidak bisa membantah karena kenyataannya saat ini, fakta sedang menguji saya.
Dua bulan menjadi penjaga toko batik, saya sempat terlupa impian untuk menulis minimal satu buah buku. Waktu saya habis untuk bekerja dan malam harinya saya pergunakan untuk ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman dan para pekerja konveksi di dekat rumah Pak Bos. Dari mereka saya melihat dunia dari sudut pandang yang sedikit berbeda dari hidup saya selama ini. Rata-rata mereka mulai hidup mandiri dengan bekerja setelah mereka lulus SD. Sementara saya? Bahkan setelah lulus kuliah, saya masih saja dibiayai oleh orang tua.
Pak Bos yang sebelumnya berjanji akan membantu mencarikan pekerjaan ternyata belum kunjung membicarakan hal itu. Saya tidak mau terlalu menunggu. Di sela-sela kesibukan sebagai penjaga toko batik, saya menyibukkan diri dengan mencari pekerjaan lain. Sebenarnya banyak sekali lowongan pekerjaan yang saya temui selama di Jakarta. Namun, pada akhirnya saya menyadari bahwa keinginan saya bukanlah untuk hidup di Jakarta selamanya. Saya tidak merasa nyaman di kota sebesar Jakarta. Karenanya, saya mencari lowongan pekerjaan yang penempatannya bukan di Jakarta. Akhirnya setelah dua bulan menjadi penjaga toko batik, saya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang Entomolog di sebuah perusahaan swasta dan ditempatkan di Cabang Semarang.
Selama bekerja di perusahaan ini, saya kembali menekuni kesenangan saya moncorat-coret kertas bekas yang saya kais dari dokumen kantor yang hendak dibuang ke tempat sampah. Setiap pulang kerja, saya menulis di kertas tersebut karena saya belum mempunyai komputer dan teman kost sudah bersikap individualis sehingga jarang ada obrolan santai di antara penghuni kost.
Akhir tahun 2006, saya merasa pekerjaan ini tidak sesuai dengan kata hati saya karena banyak hal ternyata tidak sesuai dengan prosedur keamanan dalam bekerja. Manager cabang juga menginginkan saya pindah saja ke Divisi Marketing, namun dari Pusat tetap menginginkan saya di Divisi Service sebagai Entomolog. Saya pribadi merasa jobdesk sebagai entomolog sebenarnya tidak jelas. Saya bahkan merasa bukanlah seorang entomolog. Saya juga melihat dengan mata kepala saya sendiri, beberapa pekerja yang bekerja langsung dengan zat-zat pestisida ternyata tidak mendapat jaminan kesehatan yang memadai. Saya berpikir bahwa mungkin dalam jangka waktu dekat, efek samping tidak akan mereka derita. Namun beberapa tahun kemudian, mereka baru akan merasakan pengaruh zat-zat racun yang biasa mereka gauli setiap hari mulai menggerogoti kesehatan mereka. Saya tidak mau mengorbankan hidup saya hanya demi mendapatkan kenyamanan dan gaji setiap bulan. Akhirnya saya mengundurkan diri dan memutuskan kembali ke Pekalongan.
Saya meghabiskan gaji terakhir dari perusahaan swasta tadi untuk membeli seperangkat komputer bekas. Babe dengan pengertian, tanpa saya minta, suatu hari memasukkan sepasang meja kursi ke kamar saya sebagai meja komputer.
Keinginan saya untuk menulis semakin besar ketika saya mengisi hari-hari yang sepi. Saya mulai mengetik naskah-naskah yang saya tulis di kertas bekas itu di komputer. Setiap malam saat semua orang terlelap dalam tidur, saya terjaga. Setengah tahun hanya untuk mengetik dan menulis. Saya belum tertarik mencari pekerjaan lain. Saya membatasi keluar rumah. Karena saya tidak mempunyai sepeserpun uang. Hape pertama saya juga rusak dan tak dapat lagi dinyalakan. Baguslah, pikir saya dengan miris. Saya tahu, ironis menyebut itu bagus.
Pada bulan kedua, draft naskah novel saya yang pertama selesai dan sebuah draft lagi juga mendekati selesai. Kurang sedikit pendempulan. Pertama kalinya saya merasa bangga dengan diri saya sendiri. Impian saya mendekati terwujud. Ternyata saya ketagihan menulis dan tidak puas hanya dengan satu buah karya. Masalah lain menghadang, saya belum bisa mencetak draft tersebut.
Belum lagi, saya merasa lingkungan saya bersikap aneh terhadap saya. Seorang sarjana, menghabiskan waktunya di rumah, tidak mempunyai pekerjaan maupun penghasilan, hidup numpang pada orang tua dan sebagainya. Meskipun mereka tidak melisankannya di depan muka saya, namun saya membaca melalui raut muka dan telinga yang entah mengapa menjadi semakin peka dalam masa-masa sulit semacam ini. Terkadang tanpa seorangpun tahu, saya menangis pada malam-malam yang tak pernah saya ketahui kapan akan berakhir. Saya benar-benar merasa sendirian.
Rasa kesepian dan sendirian membuat saya semakin membenamkan diri dengan menulis dan menulis. Setiap malam saya bercakap-cakap dengan tokoh-tokoh fiktif. Saya berharap merekalah yang akan menyampaikan segala kesedihan, kegundahan dan perasaan yang tak bisa saya ungkapkan. Saya menulis dengan hati. Saya masih mengabaikan tata bahasa atau aturan-aturan dalam menulis.
Pada pertengahan tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Pekalongan mengadakan rekruitmen menjadi calon Fasilitator Kelurahan program Replikasi P2KP. Babe yang mungkin cemas karena anaknya belum kunjung bekerja, suatu siang menyerahkan begitu saja secarik kertas pengumuman kepadaku. Fasilitator Kelurahan??? Asing sekali istilah tersebut bagi saya. Selama ini, yang saya kenal adalah pekerjaan sebagai guru, PNS, medical representative dan beberapa bidang pekerjaan yang banyak muncul di Koran-koran. Namun, sebagai Fasilitator Kelurahan? Sama sekali saya tidak memiliki gambaran. Namun, karena di persyaratan tercantum ‘semua jurusan’, saya nekad mendaftar. Konsekwensi dari ‘semua jurusan’, maka pendaftar untuk pekerjaan ini membludak. Saya tak tahu angka pasti yang mendaftar. Yang saya tahu, berapa jumlah yang akan diterima. Hanya akan diambil 12 orang sebagai fasilitator kelurahan. Proses recruitment meliputi tes tulis, wawancara dan diskusi dengan metode FGD (Focussed Group Discussion). Keren bukan? Itu istilah untuk diskusi kelompok terarah. Peserta dibagi dalam beberapa kelompok dan harus mendiskusikan materi tertentu.
Setelah melalui rangkaian tes, singkat cerita saya dan tujuh belas orang lainnya dinyatakan lulus dan diwajibkan mengikuti pelatihan dasar untuk Konsultan dan Fasilitator pendamping selama 9 hari di kelas dan setelah itu dilanjutkan dengan praktik lapangan. Sempat timbul rasa malas dalam diri saya untuk melanjutkan perjuangan di pemberdayaan ini. Entah mengapa semangat saya menguap. Tanpa sebab yang bisa saya jelaskan.
Saya merasa takkan sanggup bekerja sebagai seorang tenaga pendamping di masyarakat. Pastilah sangat berat dan banyak kendala. Namun, waktu itu ibu saya terus mendorong saya. Ibu saya mengatakan bahwa kalau saya berhenti saat itu, maka saya tidak akan pernah bisa maju dan meraih mimpi-mimpi saya. Bahkan beliau menyindir dengan mengatakan bahwa saya telah menyerah sebelum berperang. Kalau setiap melihat hambatan dan kendala saya mundur, maka sampai kapanpun saya tidak akan pernah beranjak maju. Seberat apapun perjuangan, kita harus menjalaninya. Karena dengan menaklukkan beratnya perjuangan kita akan merasakan manisnya madu kesuksesan. Akhirnya, saya berpikir ulang dan memutuskan akan terus maju. Apapun yang akan saya hadapi. Sesulit apapun. Meskipun harus merangkak-rangkak, saya harus menata hidup saya.
Untuk memperlancar pekerjaan saya, ibu menyarankan saya meminjam uang dari organisasi desa yang beliau ikuti dan membeli hape baru. Uang itu dapat saya kembalikan begitu saya mendapat gaji pertama sebagai fasilitator.
Satu tahun saya bekerja sebagai fasilitator dengan perjuangan di lapangan yang demikian berat dan menguras tenaga, air mata dan emosi. Saya tidak dapat menceritakan kisah-kisah selama pendampingan ke orang-orang, karena pekerjaan ini memang cukup asing di lingkungan saya. Namun, yang membahagiakan saya adalah pada akhirnya saya mendapat dana untuk mencetak kedua karya saya.
Menjelang akhir kontrak sebagai fasilitator pada Mei 2008, saya melamarkan draft novel pertama ke Penerbit Diva (Jogjakarta) dan tanpa saya duga, Diva menganggap naskah tersebut layak untuk diterbitkan.
Tugas saya di Replikasi P2KP Kab. Pekalongan berakhir pada Juni 2008 dan oleh Pemkab Pekalongan, saya direkomendasikan untuk bergabung dengan Konsultan Management Wilayah (KMW) Provinsi Jawa Tengah sebagai fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Saya ditugaskan di Kabupaten Pati dan mulai bertugas pada Juli 2008. Tak lama setelah saya menginjakkan kaki saya di Pati, pada pertengahan bulan Juli 2008 saya menerima novel ‘Malaika Humaira’ sudah dalam bentuk sebuah buku. Saya bahagia dan memperlihatkan buku tersebut kepada ibu saya. Beliau diam saja, namun kedua matanya berkaca-kaca. (akar_atya. 14 Desember 2011)