Kamis, 31 Maret 2011

The Little Prince

Pada suatu planet di jagad raya, seorang Pangeran Kecil hidup di sana. Seorang diri. Temannya hanyalah setangkai pohon mawar yang angkuh dan sering menyombongkan dirinya sebagai makhluk yang paling elok. Namun demikian, Sang Pangeran tetap masih menyayangi mawarnya itu dan selalu setia mendengarkan bualannya. Meski pada kenyataannya sang Pangeran mengetahui bahwa mawarnya hanya berdusta. Setiap hari dia merawat mawar itu dengan sabar. Pada suatu saat sang Pangeran merasa bahwa dia bosan hanya berada di planetnya, sudah saatny sang pangeran mencari pengalaman di tempat lain, dengan melancong ke planet-planet lain. Pada saat sang Pangeran berpamitan, mawarnya menangis sedih dan dia mengakui bahwa selama ini, dia telah banyak membohongi Pangeran. Dan bahwa dia hanya membutuhkan seorang teman. Pangeran Kecil memakluminya.
……………

D`i sebuah planet, Pangeran Kecil bertemu dengan seekor rubah.
“Kemarilah, bermainlah denganku,” kata Pangeran Kecil. “Aku sangat sedih.”
“Aku tidak bisa bermain denganmu,” kata rubah. “Aku belum dijinakkan.”
“Ah! Maafkan aku.” Kata Pangeran Kecil. Tapi setelah beberapa saat berpikir, dia menambahkan, “apa artinya itu… menjinakkan?”
“Itu adalah tindakan yang sering diabaikan,” kata Rubah. “Menjinakkan artinya menjalin ikatan.”
“Menjalin ikatan?”
“Begitulah,” kata Rubah. “Bagiku, kamu saat ini tidak lebih dari seorang bocah kecil yang sama saja dengan ribuan bocah kecil lainnya. Dan aku tidak membutuhkan kamu. Dan kamu sendiri tidak membutuhkan aku. Bagimu, aku tak lebih dari seekor rubah seperti ratusan ribu rubah lainnya. Tapi, jika kamu menjinakkan aku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kamu akan menjadi satu-satunya di dunia….”

“Hidupku sangat membosankan,” kata Rubah. “ Aku memburu ayam, manusia memburuku. Semua ayam sama saja dan semua manusia sama juga. Dan, akibatnya aku menjadi sangat bosan. Tapi, jika kamu menjinakkan aku, akan terasa seolah matahari menyinari hidupku. Aku akan mengenali suara langkah yang terdengar berbeda dari semua langkah yang lain. Langkah-langkah lain akan mendorongku bergegas kembali ke bawah tanah. Tapi, langkahmu akan memanggilku, seperti musik keluar dari tempat persembunyianku. Dan coba lihat: kamu lihat ladang padi jauh di sana? Aku tidak makan nasi. Padi tidak ada manfaatnya bagiku. Ladang padi tidak punya arti apa-apa bagiku. Dan itu menyedihkan. Tapi rambutmu berwarna emas. Pikirkan betapa indah jadinya nanti jika kamu telah menjinakkan aku! Butir-butir padi yang juga berwarna keemasan akan membuatku ingat padamu. Dan aku akan senang sekali mendengarkan suara angin yang meniup butir-butir padi….”
Lama Rubah itu menatap sang Pangeran Kecil.
“Tolong – jinakkan aku!” katanya.
“Aku ingin, ingin sekali,” sahut Pangeran Kecil. “Tapi aku tidak punya banyak waktu. Ada banyak teman yang harus kucari dan banyak hal yang harus kumengerti.”
“Orang hanya bisa mengerti hal-hal yang dijinakkannya,” kata Rubah. “Manusia tidak punya waktu lagi untuk mengerti apapun. Mereka membeli barang yang telah tersedia di toko. Tapi, dimana-mana tidak ada toko yang menjual persahabatan, dan karenanya manusia tidak punya teman lagi. jika kamu ingin punya teman, jinakkanlah aku…”
“Apa yang harus aku lakukan untuk menjinakkan kamu? Tanya Pangeran Kecil.
“Kamu harus sabar sekali,” sahut Rubah. “Pertama-tama, kamu duduk agak jauh dariku – seperti itu – di atas rumput. Aku akan memandangmu dengan sudut mataku, dan kamu tidak boleh bilang apa-apa. Kata-kata adalah sumber kesalahpahaman. Tapi kamu akan duduk lebih dekat denganku setiap hari….”

Maka Pangeran Kecil menjinakkan Rubah. Dan ketika waktu perpisahan mereka hampir tiba….
“Ah,” kata Rubah. “Aku akan menangis.”
“Itu salahmu sendiri,” kata Pangeran Kecil. “Aku tidak pernah berkeinginan mencelakaimu sama sekali, tapi kamu ingin aku menjinakkan kamu….”
“Yah, memang begitu,”Kata Rubah.
“Tapi sekarang kamu akan menangis!” kata Pangeran Kecil.
“Yah, memang begitu!” kata Rubah.
“Jadi itu tidak mendatangkan kebaikan bagimu sama sekali!”
“Itu baik untukku,” kata Rubah. “Karena warna ladang padi itu.” Lalu dia menambahkan: “Pergilah dan lihatlah lagi bunga mawarmu itu. Kamu akan mengerti sekarang bahwa bungamu adalah satu-satunya di seluruh dunia. Lalu kembalilah dan ucapkan ‘selamat tinggal’ padaku, dan aku akan memberimu hadiah berupa sebuah rahasia.”

Pangeran Kecil pergi untuk melihat kembali bunga-bunga mawarnya.
“Kamu sama sekali tidak seperti bunga mawar milikku,” katanya pada bunga-bunga. “Jadi kamu tidak ada artinya. Tidak ada yang menjinakkan kamu dan kamu tidak menjinakkan siapa-siapa. Kamu seperti Rubahku ketika pertama kali aku mengenalnya. Dia hanya seekor rubah sama seperti ratusan ribu rubah yang lainnya. Tapi aku telah menjadikannya temanku, dan kini dia menjadi satu-satunya di seluruh dunia.”
Dan mawar-mawar itu sangat malu.
“Kamu cantik, tapi hampa,” lanjutnya. “Tidak ada yang bersedia mati demi kamu. Tentu, orang yang lewat akan mengira bahwa bunga mawarku tampak persis seperti kamu – mawar yang kumiliki. Tapi hanya dialah yang lebih penting daripada ratusan ribu mawar lain, sebab dialah yang kulindungi di balik tabir, karena demi dialah aku membunuh ulat (kecuali dua atau tiga di antara mereka yang kami selamatkan agar menjadi kupu-kupu); karena dialah aku mau mendengarkan, ketika dia mengomel atau membual, atau bahkan kadang-kadang ketika dia tidak bilang apa-apa. Karena dia adalah mawarku.”

Dan Pangeran Kecil kembali menemui Rubah.
“Selamat tinggal,” katanya.
“Selamat jalan,” kata Rubah. “Dan sekarang inilah rahasiaku, rahasia yang sangat sederhana: hanya dengan hatilah orang bisa melihat dengan benar, hal apa yang terpenting yang tidak dapat dilihat dengan mata?”
“Apakah yang terpenting yang tidak bisa dilihat dengan mata?” ulang Pangeran Kecil supaya dia yakin akan mampu mengingatnya.
“Waktu yang telah kamu habiskan untuk mawarmu, itulah yang membuat mawarmu begitu penting.”
“Waktu yang telah aku habiskan untuk mawarku – “ kata Pangeran Kecil, supaya dia yakin akan mampu mengingatnya.
“Manusia telah melupakan kebenaran ini,” kata Rubah.
“Tapi kamu tidak boleh melupakannya. Kamu bertanggung jawab, selamanya, terhadap apa yang telah kamu jinakkan. Kamu bertanggung jawab terhadap mawarmu….”


…………………

(Adapted from The Little Prince, karya Antoine de Saint – Exupery - 1943)

  
By: zahrotul atiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar